Pertanian Indonesia Pasca Revolusi Hijau


Kegagalan Revolusi Hijau memicu peralihan sistematis menuju sistem pertanian yang ramah alam. Namun perubahan lingkungan dan tataran sosial telah terjadi.
Pupuk dan bahan kimia telah merusak lahan pertanian. Saat petani menggunakan pupuk kimia, tanaman tidak hanya menyerap nitrogen, fosfor dan potasium lebih banyak, namun juga menyerap unsur nutrisi mikro dalam tanah, seperti unsur seng (zinc), besi (iron), dan tembaga (copper). Tanah pun lama kelamaan kekurangan nutrisi mikro ini sehingga kemampuan tanah untuk menyerap nitrogen, fosfor dan potasium menjadi terganggu.
Hasilnya, tanah semakin kering dan produktifitas lahan terus menurun. Banyak petani yang tidak memahami siklus ini mencoba mengatasi kurang suburnya lahan dengan memerbanyak pupuk kimia. Tindakan petani ini akhirnya memercepat krisis lahan.
Petani semakin tergantung pada pupuk kimia, lahan semakin rusak dan di beberapa wilayah, saat harga pupuk dan bahan kimia lain semakin mahal, petani terpaksa harus berhutang sebagai modal awal mereka berproduksi. Pola ini merusak ekonomi petani dan sistem pertanian lokal.
Banyak petani – yang tidak mampu mengolah lahan pertanian karena mahalnya biaya berproduksi – akhirnya menjual tanah mereka dan menjadi petani penggarap. Pada saat yang sama, tenaga manusia digantikan dengan traktor. Keterlibatan perempuan dalam industri pertanian pun semakin terkikis.
Saat ini, pertanian tidak lagi menjadi tulang punggung ekonomi di pedesaan. Banyak petani dan anak-anak petani telah menjual aset mereka. Banyak dari hasil penjualan aset-aset ini yang digunakan sebagai “modal” menjadi anggota TNI/Polri, pegawai negeri sipil (PNS), menjadi buruh dan tenaga kerja di luar negeri. Dampak sistemik dari Revolusi Hijau ini masih terasa hingga sekarang.
Dari sisi praktik pengelolaan lahan, kegagalan Revolusi Hijau, serangan hama wereng dan virus tungro, yang menghancurkan jutaan hektar lahan padi di Pulau Jawa, juga memicu keprihatinan mendalam dari pemerintah.
Pada November 1986, Presiden Suharto mengeluarkan instruksi presiden guna melarang 57 bahan kimia yang menyebabkan wabah wereng coklat dan virus tungro. Instruksi presiden ini juga menetapkan pengendalian hama terpadu (PHT) sebagai program nasional. Subsidi pemerintah untuk pestisida dikurangi dari 85% harga menjadi nol subsidi pada 1989.
Pemerintah juga meluncurkan program pengendalian hama terpadu paling agresif sepanjang sejarah pada 1989. Pemerintah melatih 1000 pengamat hama, 2000 pekerja lapangan dan 100.000 petani dalam tiga tahun dengan bantuan Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan lembaga donor internasional.
Tujuan utama program PHT ini adalah untuk mengembalikan produktifitas lahan dan mengurangi penggunaan pestisida yang membunuh tidak hanya hama tanaman namun juga pemangsa alaminya.
Melalui program PHT ini industri pertanian Indonesia pelan tapi pasti beralih ke pola pengelolaan yang lebih ramah lingkungan, dengan berfokus pada teknik alami yang sesuai dengan prinsip ekologis. (Bersambung)
sumber:  Hijauku.com

Penulis : I.F ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Pertanian Indonesia Pasca Revolusi Hijau ini dipublish oleh I.F pada hari Senin, 26 Maret 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Pertanian Indonesia Pasca Revolusi Hijau
 

0 comments:

Posting Komentar